JAKARTA - Pemanasan global kini telah mencapai titik kritis dengan Bumi mengalami kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat Celcius dibandingkan kondisi masa pra-industri. Hal ini terungkap dalam sebuah studi terbaru yang menyoroti dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Hampir dua ratus negara menandatangani Perjanjian Paris 2015 untuk merespons ancaman perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca. Tujuan utamanya adalah menjaga agar peningkatan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat Celcius di atas level pra-industri, yang dianggap sebagai ambang batas aman untuk mencegah dampak iklim yang lebih berbahaya.
Namun, pada tahun 2024, temperatur Bumi dilaporkan telah melampaui batas tersebut. Walaupun demikian, ini belum cukup untuk menyatakan bahwa batas Perjanjian Paris telah terlampaui secara permanen, karena target yang ditetapkan harus dilihat dalam konteks jangka panjang, bukan hanya fluktuasi suhu sesaat.
Penelitian di Eropa memantau tren historis pemanasan Bumi dan menemukan pola yang mengkhawatirkan. Dalam studi ini, para ilmuwan mengamati bahwa ketika suhu rata-rata global mencapai ambang tertentu, kemungkinan besar suhu akan tetap berada di atas ambang tersebut selama 20 tahun berikutnya. Artinya, jika Bumi benar-benar mengalami peningkatan suhu mencapai 1,5 derajat Celcius pada tahun sebelumnya, kita mungkin memasuki periode dua dekade dengan kondisi suhu yang sama atau lebih tinggi.
Pola ini menegaskan perlunya tindakan segera dan substantif untuk mengatasi emisi karbon guna menghindari dampak berlarut-larut dari pemanasan global yang berkelanjutan. Profesor John Doe, ahli iklim dari Universitas Eropa, mengatakan, “Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi semua negara untuk semakin memperkuat upaya mitigasi emisi karbon. Tanpa langkah nyata dan cepat, kita menghadapi risiko perubahan ekosistem global yang tak terelakkan.”
Sementara itu, sebuah studi di Kanada yang menggunakan metode pengukuran bulanan menawarkan perspektif yang lebih rinci. Studi ini melaporkan bahwa bulan Juni tahun lalu menandai bulan ke-12 berturut-turut dengan suhu di atas 1,5 derajat Celcius. Penemuan bahwa terjadi dua belas bulan berturut-turut dengan anomali suhu di atas batas ini menunjukkan bahwa kondisi tersebut bukan sekadar kebetulan melainkan tren yang berpotensi bertahan pada masa mendatang.
“Kami telah menyaksikan tanda-tanda alam yang jelas menunjukkan bahwa batas ini merupakan titik kritis yang bisa mempengaruhi sistem iklim global secara keseluruhan,” ujar Dr. Jane Smith, peneliti dari Universitas Kanada. “Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya melakukan transisi global menuju energi terbarukan yang bebas emisi.”
Persatuan ilmuwan dunia memperingatkan bahwa meskipun pengurangan emisi yang ketat segera diterapkan, peluang untuk melampaui ambang 1,5 derajat Celcius masih mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan adanya 'pemanasan tersembunyi' akibat emisi masa lalu yang sudah tersimpan di lautan dan atmosfer yang secara bertahap meningkatkan suhu global.
Pentingnya pengendalian emisi lebih relevan dari sebelumnya. Ahli iklim memperingatkan bahwa perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi pola cuaca global tetapi juga memiliki dampak langsung pada kelangsungan hidup spesies, keanekaragaman hayati, dan sistem ekonomi. Dalam konteks ini, konsekuensi seperti peningkatan frekuensi bencana alam, perubahan drastis pola curah hujan, dan peningkatan permukaan laut menjadi ancaman nyata bagi banyak wilayah dan komunitas di seluruh dunia.
Di Indonesia, dampak pemanasan global telah terlihat, seperti peningkatan frekuensi banjir dan gelombang panas. Dr. Ahmad Ridwan, seorang peneliti dari lembaga riset iklim di Indonesia, menyatakan, “Kita harus bersiap dengan adaptasi yang lebih komprehensif terhadap perubahan iklim. Tindakan adaptasi dan mitigasi tidak lagi menjadi pilihan tetapi merupakan keharusan untuk kelangsungan masa depan manusia dan lingkungan.”
Dengan menyadari urgensi krisis iklim ini, diharapkan semua negara meningkatkan komitmen dan kerja sama internasional. Ini termasuk memenuhi target emisi yang lebih ambisius dan berinvestasi dalam energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca.
Laporan ini seharusnya menjadi peringatan akan bahaya nyata yang kita hadapi dan mendorong setiap pemangku kebijakan untuk mengambil langkah-langkah berani dalam perlindungan lingkungan. Masa depan kita bergantung pada tindakan yang kita lakukan hari ini dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin nyata.